Jumat, 07 Maret 2014

Kisah yang sangat sedih, penyesalan seorang istri yang tidak memperhatikan suami nya dan menyia nyiakan cinta suami nya... '(

Ketika suami nya telah tiada, dia baru sadar betapa besar cinta suami nya kepada dia.

===========================================================

Aku membencinya itulah yang slalu aku bisikkan kedalam hati ku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar benar menyerahkan hatiku kepada nya. Menikah karna paksaan orang tua, membuatku membenci suami ku sendiri.

Walaupun terpaksa, aku tak pernah menunjukan sikap benciku, meskipun membencinya, aku melayaninya sebagai tugas seorang istri. Aku terpaksa melakukan smua nya karna tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul untuk meninggalkan nya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku, karna menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satu nya mereka.

Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. kulakukan hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakan ku sedemikian rupa  Aku tidak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung kepadanya karna aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang telah ia lakukan kepadaku. Aku telah meyerahkan hidupku kepada nya sehingga tugasnya lah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Dirumah kamu, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuk nya yang basah yang di letakan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakan sendok sisa mengaduk susu diatas meja dan meninggal bekas lengket, aku benci ketika ia menggunakan komputer ku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantungkan baju nya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapih, aku marah jika ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awal nya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pik. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan , dokterpun menolak untuk menggugurkannya.

Itulah kemarahan terbesarku kepadanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. AKu memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku karna aku mengancam meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orang tuaku.

Sebelum kekantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan di ikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayah nya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Disalon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

"Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku." Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphone ku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. "Apalagi??"

"Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?" tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayar tagihanku. Si empunya salon yang sahabatku sebenarnya sudah memperbolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena "musuh"ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkat nya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.

Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, "selamat siang, ibu. apakah ibu istri dari bapak armandi?" kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon di tutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaiman akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir disana menyusulku. Aku yang hanya dia seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhir nya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematianya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orang tuaku dan orang tuanya yang shock. Sama sekali tak ada air mata setetes pun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya yang dulu slalu di hiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmata ku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makan nya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus ku konsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuk nya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tuguhnya hilang bersama onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak didalam keinginan untuk bersama nya. Dihari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya dikamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasakamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptop ku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tuts nya berharap bekas jarinya masih tertinggal disana. dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhir nya pun tidak mau kuhapus. Remote TV yang biasa di sembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bsa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. AKu sholat karena aku ingin minta maaf, meminta maaf kepada Allah karena menyia-nyiakan suami yang di anugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit Cinta Allah padaku di tunjukannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.

Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah perduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia tranfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terkahir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya di tranfer kerekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keprluan rumah tangga. Entah dari mana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja dmna? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu di atur oleh dia.

kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaan nya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuat ku tak mampu berkata apapun adalah isi surat nya untukku.

"Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberima cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka , ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti ibu dan farhan, ksatria pelindungku. Jagalah ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. OKe, Buddy!"

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kamu, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup didalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra-putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi se orang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, "ibu, aku harus bagaimana nanti setlah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?"

Aku merangkulnya sambil berkata "Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau belajar menyenangkan hatiny, akan belajar menerima kekuranganya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta."

Putriku menatapku, "seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?"

Aku menggeleng, "bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua."

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku unutk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bebas dari cintanya yang begitu tulus.

***
Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa bessarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.

~* Allah Selalu Ada Untukku,Untukmu dan Untuk Kita Semua *~
Keep Istiqomah + Keep Smile it's a Sunnah Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡

ƸӜƷ.¸¸¸.••..ƸӜƷ..••.¸¸¸.ƸӜ
Ʒ..••.¸¸¸.ƸӜƷ
"Cinta ALLAH di atas segalanya"


Cerita ini aku ambil dari sebuah artikel cerita teman ku. Smoga dapat meng inpirasi kita semua dan menjadi pandangan kehidupan kita kedepan.

   "Laki-Laki Sejati Hanya Punya Satu Pilihan Walaupun DiDunia Ini Begitu Banyak Pilihan, Termasuk Cinta"

0 komentar :

Posting Komentar

tuliskan komentar anda agar menjadi perbaikan untuk kedepan nya